Senin, 01 Februari 2016

☆ AQIDAH SESAT MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB ☆

Bismillah

※ Didalam kitab "Duraris assaniyah fi arraddi alaa al wahabiyah"......
● Karangan Syaikhul Islam As Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.

{ SILAHKAN LIHAT SCAN KITAB...!!}

¤ Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah.
Dalam seluruh khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi kafir.
Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu.
Dalam berbagai kesempatan, saudaranya ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan segala apa yang ia perintahkan.

Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai bid’ah yang diserukan olehnya.
Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya:
“Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam..??”

Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”.

Syekh Sulaiman berkata:
“Engkau telah menjadikannya enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap bukan seorang muslim”.

Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadlan..??

Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”.

Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut....?!
Padahal menurutmu orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”.
Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.

Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab
sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya.

Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya.
Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya.
Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya.
Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.

Suatu ketika, salah seorang kepala satu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya:
”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu,
Lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut,
Tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur...??”

Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”.

Kemudian kepada kabilah tersebut berkata:
”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa,
Mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau bawa adalah Sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”.

Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.

Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab:
”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus...??”.

Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab:
”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu,
Semua mereka adalah orang-orang musyrik”.

Orang tadi kemudian berkata:
”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus..!!
Lantas dari manakah engkau mendapatkannya..??”

Ia menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khaidlir”.

Kemudian orang tersebut berkata:
”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham.
Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir”

(ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).

———————————————————————————————

Tidak ada komentar:

Posting Komentar