Kamis, 11 Februari 2016

FITNAH & TUDUHAN WAHABI – SALAFY TENTANG ASY’ARIAH

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
ASY’ARIAH ADALAH AQIDAH YANG DIPEGANG AHLUS SUNNAH WAL JAM’AH

Allah memuji golongan Asya’iroh dalam sebuah ayat yg mana pada saat ayat ini turun, Rasulullah memberikan isyaratnya kepada seorang sahabat yaitu Imam Abu Musa al-Asy’ari (Kakek dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari) seraya menunjuk kepadanya.

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لائم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yg bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Maidah : 54)

Rasulullah yang bertugas sebagai mubayyin (penjelas) al-Qur’an telah memberikan penjelasan bahwa yg dimaksud dengan “kaum yg Allah mencintai mereka & mereka pun mencintaiNya..”, dalam ayat diatas adalah kaum Abu Musa al-Asy’ari berdasarkan hadits shahih berikut :

عن عياض الاشعري قال : لما نزلت : {فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه} قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هم قومك يا أبا موسى) وأومأ رسول الله صلى الله عليه وسلم : هم قوم هذا , و أشار إلي أبي موسى الأشعري.

Dari Iyadh al-Asy’ari Radiyallahuanhu dia berkata “Ketika ayat, “Allah akan mendatangkan satu kaum yg Allah mencintai mereka & mereka pun mencintai-Nya”, maka Rasulullah bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy’ari : “Mereka adalah kaumnya laki2 ini”

قال القشيرى: فأتباع أبى الحسن الأشعرى من قومه لأن كل موضع أضيف فيه قوم إلى نبي أريد به الأتباع، قاله القرطبى فى تفسيره (ج6/220) .

Al-Qusyairi berkata : “Pengikut madzhab Abi al-Hasan al-Asy’ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy’ari , karena setiap terjadi penisbahan kata kaum terhadap nabi didalam al-Qur’an, maka yang dimaksudkan adalah pengikutnya”

وقال البيهقى: وذلك لما وجد فيه من الفضيلة الجليلة والمرتبة الشريفة للإمام أبى الحسن الأشعرى رضى الله عنه فهو من قوم أبى موسى وأولاده الذين أوتوا العلم ورزقوا الفهم مخصوصاً من بينهم بتقوية السنة وقمع البدعة بإظهار الحجة ورد الشبهة “.ذكره ابن عساكر في تبيين كذب المفتري.

Dan telah berkata Imam Bayhaqy ” Demikian itu karena telah nyata di temukan keutamaan besar dan dan kedudukan yang sangat mulia pada dari Imam Abu Hasan al Asy’ari Rodiyallahu anhu. Beliau adalah dari kaum Abu Musa al Asy’ari & termasuk anak turunya. mereka2 itu telah di beri ilmu rezki kefahaman yg di hususkan di antara mereka yaitu dengan menguatkan sunnah dan menghancurkan bid’ah dengan menampakan hujjah & menolak segala syubhat/kekeliruan”

***

Dalam hadits riwayat al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan al-Imam al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذلِكَ الْجَيْشُ (رَوَاهُ أحْمَد والْحَاكمُ)

“Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Hadits ini baru menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian dari masa hidupnya Rasulullah. Ialah ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu mereka semua berkeinginan sebagai orang yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan kaum Muslimin.

Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang yang dalam akidah pengikut al-Imam Abu al-Hasan Asy’ari yang sangat tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi. Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan Kostantinopel beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut. Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya.

Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau bertawassul dengan Rasulullah. Beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya tersebut. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam.

Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantinopel dalam hadits di atas adalah salah satu bukti kuat akan kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik bertawassul dengan para Nabi, maupun betawassul dengan para wali Allah ataupun orang-orang saleh lainnya. Karenanya, tidak sedikit dari para pengikut sultan Muhammad al-Fatih adalah orang-orang mulia yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat.

***

SIAPAKAH SEBENARNYA ASY’ARIYYAH?
Banyak orang yang tidak mengerti apa sebenarnya madzhab Asy’ariyyah, siapa mereka dan bagimana methode pemikiran mereka dalam akidah, hingga madzhab Asy’ariyyah tersebut di labeli madzhab sesat serta keluar dari agama. Lebih ekstrim lagi, ada sebagian kalangan yang tanpa ragu-ragu menilai pengikut madzhab Asy’ariyyah adalah kufur.

Ternyata jahil mengenai madzhab Asy’ariyyah menjadikan pangkal kehancuran dan perpecahan di tubuh Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Bahkan ada yang mendudukkan pengikut Asy’ariyyah di sejajarkan dengan golongan yang sesat. Kami sungguh tidak tahu argumen mereka, bagaimana mungkin ahli iman dan termasuk golongan Ahlussunnah di sejajarkan dengan kelompok sesat? Na’udzubillah.

Dalam kitab al-Ghuluw, makalah Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki hal. 23 dalam dialog nasional ke-2 di Makkah Mukarramah, di sebutkan bahwa tindakan anarkis dari sebuah kelompok yang selalu menyeru berjihad ternyata melakukan pembakaran kitab-kitab dan mausu’ah ilmiyyah (ensiklopedi) termasuk diantaranya adalah kitab Fath al-Bari syarah Shahih al-Bukhari karya al-Hafizh Ibnu Hajar hanya gara-gara beliau di tuduh bermadzhab Asy’ari serta mengikuti jejak Asy’ariyyah dalam mentafsiri hadits-hadits sifat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari.
Siapakah Asy’ariyyah sesungguhnya? Asy’ariyyah adalah kelompok ulama-ulama Islam yang terdiri dari ahli hadits, ahli fiqh dan ahli tafsir seperti:
1. Al-Hafizh Abu Hasan ad-Daraquthni
2. Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani, penulis Hilyah al-Auliya’
3. Al-Hafizh al-Hakim an-Nasaiburi, penulis al-Mustadrak
4. Al-Hafizh Ibni Hibban
5. Al-Hafizh al-Baihaqi
6. Al-Khathib al-Baghdadi
7. Al-Hafizh as-Sakhawi
8. Syaikh al-Islam Ibnu Shalah
9. Syaikh Ibnu Daqiq al-Id
10. Al-Hafizh Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi
11. Al-Hafizh al-Mundziri, penulis at-Targhib wa at-Tarhib
12. Syah Waliyullah ad-Dihlawi, penulis kitab Hujjah Allah al-Balighah
13. Al-Hafizh al-Munawi, penulis kitab Faidh al-Qadir
14. Qadhi Iyadh, penulis asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa
15. Syaikh Ibni Khaldun, penulis al-Muqaddimah
16. Abu Ishaq al-Isfirayini
17. Imam Abu Bakar al-Baqillani
18. Sa’duddin at-Taftazani, penulis kitab Syarah al-Maqashid
19. Sulthan al-Ulama, Izziddin bin Abdissalam
20. Imam Ibnu Asakir
21. Imam as-Sirazi
22. Al-Hafizh al-Kirmani, penulis Syarah Shahih al-Bukhari
23. Ibnu Hajar al-Asqalani (seorang ahli hadits yang tanpa disangsikan lagi bahwa pengarang kitab Fath al-Bari syarah Shahih al-Bukhari tersebut adalah bermadzhab Asy’ari dan kitabnya tersebut adalah kitab yang tidak bisa di tinggalkan ulama).
24. Imam an-Nawawi (guru besar Ahlussunnah dan pengarang kitab Syarah Shahih Muslim).
25. Imam al-Qurthubi (guru besar tafsir dan pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an)
26. Imam al-Hafizh al-Mufassir Ibnu Katsir
27. Imam Mufassir Fakhruddin ar-Razi
28. Imam al-Hafizh al-Baghawi, penulis kitab Syarah as-Sunnah
29. Imam az-Zarkasyi
30. Imam Mufassir Abu Laits as-Samarqandi
31. Imam Mufassir Ibnu Athiyyah al-Andalusi
32. Imam Mufassir Abul Hasan an-Naisaburi
33. Ibnu Hajar al-Haitami (pengarang kitab az-Zawajir dan lain-lain)
34. Zakariyya al-Anshari (guru besar fiqh dan hadits)
35. Abu Bakar al-Baqillani
36. Al-Qusthalani (penulis Irsyad as-Sari Syarah Shaih al-Bukhari)
37. An-Nasafi (ahli tafsi dan penulis tafsir an-Nasafi)
38. Imam asy-Syirbini
39. Abu Hayyan an-Nahwi
40. Imam al-Juwaini
41. Imam al-Haramain
42. Imam al-Ghazali
43. Imam al-Qarafi, murid Izziddin bin Abdissalam
44. Imam az-Zabidi, pengarang kitab Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin
45. Imam as-Sathibi (ulama’ qira’at)
46. Imam Dhiya’uddin al-Maqdisi
47. Imam Ibnu Hajib
48. Imam Ibnu Abidin
49. Imam al-Qari’ Ibnu Jazri
50. Imam al-Hafizh Ahmad Ash-Shiddiq al-Ghumari
51. Imam al-Bajuri, penulis kitab al-Bajuri Ibni Qasim
52. Al-Habib al-Quthb Abdullah bin Alawi al-Haddad.
53. Imam ar-Rafi’I asy-Syafi’i
54. Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki
55. Syaikh Yusuf an-Nabhani
56. Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi (Mesir)
57. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mekkah
58. Sayyid Abbas al-Maliki
59. Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi (Dinasti Abbasiyyah)
60. Sulthan Muhammad al-Fatih
61. Dan lain-lain.
Izzuddin bin Abdissalam mengatakan bahwa sesungguhnya akidah madzhab Asy’ari telah disepakati oleh seluruh ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan para petinggi ulama Hanbilah. Di antaranya adalah guru besar madzhab Malik yang hidup sezaman dengan Imam Asy’ari, yaitu Syaikh Abu Amr bin Hajib dan guru besar madzhab Hanafi, Jamaluddin al-Hushairi.
Imam al-Khayali mengatakan dalam Hasyiyah Syarah al-Aqaid bahwa madzhab Asy’ariyyah adalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah .( Ittihaf as-Sadah juz 2 hlm. 7 )
Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawi (IV/16) mengatakan tentang madzhab Asy’ariyyah: “Adapun para ulama yang melaknat Imam-Imam Asy’ariyyah, maka sesungguhnya siapa yang melaknat mereka, maka harus di ta’zir (di beri hukuman) dan laknat tersebut kembali kepada pelaknatnya. Siapa yang melaknat seseorang yang tidak berhak di laknat, maka laknat akan mengenai dirinya sendiri. Ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama dan Asy’ariyyah adalah penolong dasar-dasar agama (ushul ad-din)”
Fatwa Ibnu Taimiyyah tersebut di sebutkan dan di tulis Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam makalah dialognya, namun mendapat sanggahan dari Dr. Yusuf al-Ghanifaish (tercatat dalam makalah hal. 57), dikatakan bahwa, “Yang disebutkan oleh Dr. Muhammad al-Maliki, sebenarnya bukan perkataan Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah, akan tetapi perkataan Abu Muhammad al-Juwaini sebagaimana di sebutkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah di dua halaman sebelumnya” Kemudian Sayyid Muhammad mengucapkan terima kasih dan memberikan tanggapan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah sependapat dengan fatwa Abu Muhammad al-Juwaini . (Lihat al-Ghuluw hlm 60.)
Dari itu semua, jika pengikut madzhab Asy’ariyyah di anggap sebagai orang sesat, maka berapa ribu ulama Asy’ariyyah dan berapa juta muslimin yang menjadi korban penyesatan dan pengkufuran? Lalu kenapa, mereka selalu mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, ar-Razi, Ibnu Hibban dan lain-lain, yang padahal mereka semua dianggp sesat?
Catatan:
Adapun cerita yang menyebutkan bahwa Imam Haramain merujuk kembali pendapatnya tentang ilmu kalam sebagaimana di tulis oleh Khalid Abdurrahman Ekk dan ulama-ulama lain (madzhab Wahhabi) dalam catatan kitabnya, Dalail at-Tauhid karya Jamaluddin al-Qasimi, adalah palsu dan bohong sebagaimana di jelaskan oleh Ibnu as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah biografi Imam Haramain. Begitu juga dengan Imam al-Ghazali.
Semoga dengan penjelasan ini mereka menyadari bahwa tuduhannya akan berakibat pada dirinya sendiri.
  امين  استجب لنا امین يارب العالمين

Tidak ada komentar:

Posting Komentar