Selasa, 09 Februari 2016

Ma'na Kullu Bid'ah ditinjau dari Balagoh dan Nahwu,

1. DARI SISI BALAGHAH

ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَ ﻟَﺔٍ ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَ ﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Dengan membandingkan hadist tersebut serta QS Al Kahfi 79 yang sama-sama dihukumkan ke kullu majmu akan kita dapati sebagai berikut :

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits diatas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan,
ﺣﺪﻑ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻮﺻﻮﻑ
“membuang sifat dari benda yang bersifat”.

Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan:
a. Kemungkinan pertama :

ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺣَﺴَﻨَﺔٍ ﺿَﻼَ ﻟَﺔٌ ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَ ﻟَﺔٍ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.

b. Kemungkinan kedua :
ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺳَﻴِﺌَﺔٍ ﺿَﻼَ ﻟَﺔٍ ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَ ﻟَﺔٍ ﻓِﻰ
ﺍﻟﻨَّﺎِﺭ
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semuakesesatan itu masuk neraka”.

Jelek dan sesat sejalan tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya:

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻭَﺭَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻣَﻠِﻚٌ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﻛُﻠَّﺴَﻔِﻴْﻨَﺔٍ ﻏَﺼْﺒَﺎ ( ﺍﻟﻜﻬﻒ 79 : )
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi: 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja.

Maka lafadh ﻛﻞ ﺳﻔﻴﻨﺔ
sama dengan ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ
tidak disebutkan sifatnya, walaupunbpasti punya sifat, ialah kapal yang baik ﻛﻞ ﺳﻔﻴﻨﺔ ﺣﺴﻨﺔ .

2. DARI SISI NAHWU

"kullu muhdatsin bid'ah, wa kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar"

Dalam hadits tersebut rancu sekali kalau kita maknai SETIAP bid'ah dengan makna KESELURUHAN, bukan SEBAGIAN.

Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, dalam kitab mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban tertulis:

ﺍﻟَﻜُﻞّ ﺣﻜﻤﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤﺠْﻤﻮْﻉ ﻛﻜﻞ ﺫَﺍﻙَ ﻟَﻴْﺲَ ﺫَﺍ ﻭﻗَﻮْﻉﺣﻴْﺜﻤَﺎ ﻟﻜُﻞّ ﻓَﺮْﺩ ﺣُﻜﻤَﺎ ﻓَﺈﻧَّﻪُ ﻛُﻠّﻴّﺔ ﻗَﺪْ ﻋﻠﻤَﺎ
Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti ‘Sebagianitu tidak pernah terjadi’. Dan jikakita hukumkan untuk tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang sudah dimaklumi.

Mari perhatikan dengan seksama & cermat kalimat hadits tersebut.

Jika memang maksud Rosululloh shalallahu 'alayhi wa aalihi wa sallam adalah SELURUH kenapa beliau BERPUTAR-PUTAR dalam haditsnya?

Kenapa tidak langsung saja "Kullu muhdatsin fin naar (setiap yg baru itu di neraka) ?

Kullu Bid'atin fin naar (setiap bid'ah itu di neraka)"?

Kenapa Rosululloh Saw menentukan yang akhir, yakni "kullu dholalatin fin naar" bahwa yg SESAT itulah yang masuk NERAKA ?

Selanjutnya :
Kalimat bid'ah ( ﺑﺪﻋﺔ) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI'IL (kata kerja).

Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).

Nah.. kata BID'AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian dari isim ma'rifat. Jadi kalimat bid'ah di sini adalah isim nakiroh Dan KULLU disana berarti tidak bridhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 diatas.

Seandainya KULLU beridhofah kepada salah 1 yg 5 diatas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia beridhofah kepada nakiroh. Sehingga dalalah -nya adalah bersifat ‘am (umum).

Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.

Ini sesuai dengan pendapat imam nawawi ra.

ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ﻫَﺬَﺍﻋَﺎﻡٌّ ﻣَﺨْﺼٍُﻮْﺹٌ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﻏَﺎﻟِﺐُﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ .
“ Sabda Nabi SAW, “semua bid’ahadalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua
bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Lalu apakah SAH di atas itu dikatakan MUBTADA (awal kalimat)? Padahal dalam kitabAlfiah (salah 1 kitab rujukan ilmu nahwu), tertulis :
ﻻﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺃ ﺑﺎﻟﻨﻜﺮﺍﺓ
Tidak boleh mubtada itu dengan nakiroh.. KECUALI ada beberapa syarat, di antaranya adalah dengan sifat.

Andaipun mau dipaksakan untuk mensahkan mubtada dengan ma'rifah agar tidak bersifat UMUM pada kullu bid'atin di atas, maka ada sifat yang di buang (lihat DARI SISI BALAGHAH).

Dan pilihannya cuma 2 yakni: BID'AH HASANAH atau BID'AH SAYYI'AH.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa “seluruh bid’ah adalah sesat”.

Beliau mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarkan ilmu atau secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang disampaikan oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya.

Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm.154)

Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap
bid’ah adalah sesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar