Jumat, 12 Februari 2016

PENDAPAT DAN FATWA SYAIKH IBNU TAIYMIYAH YG DITENTANG DAN DIINGKARI OLEH WAHABI

INILAH IBNU TAYMIYYAH: PERSEMBAHAN BUAT PARA PENGAGUM AS SYAIKH IBN TAIMIYYAH

Bismillah,Berikut kami kutipkan beberapa pandangan/pendapat As Syaikh Ibn Taimiyah tentang beberapa perkara yang oleh para pengagum beliau dianggap sebagai Bid’ah Sesat atau Syirik.

Mereka para asatidza Salafi besar kemungkinan mengabaikan atau bahkan menyembunyikan banyak fatwa Ibn Taimiyah yang dirasa tidak sesuai dengan misi atau keinginan mereka.

Tulisan kami kali ini tidak dalam rangka membenarkan pendapat para ulama kami dengan berhujjah dengan pendapat As Syaikh Ibn Taimiyah, akan tetapi kami persembahkan beberapa pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah khususnya yang menyangkut amalan-amalan yang dituduh sebagai bid’ah sesat guna membuka mata hati para pengikut SALAFI/WAHABI agar menghentikan arogansinya dalam memerangi saudara seiman.

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN BID’AH HASANAHDalam salah satu fatwanya yang terhimpun dalam kitab “Majmu’ Al Fatawa” Syaikh Ibn Taimiyah berkata :

وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلَال مَنْ ابْتَدَعَ طَرِيقًا أَوْ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ الْإِيمَانَ لَا يَتِمُّ إلَّا بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُولَ لَمْ يَذْكُرْهُ وَمَا خَالَفَ النُّصُوصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لَا يُسَمَّى بِدْعَةً قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – : الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلَالَةٍ . وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُونُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ : نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلَامُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ البيهقي بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ فِي الْمَدْخَلِ

“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak pernah menyebutnya.

Pandangan yang menyalahi nash adalah Bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedang pandangan yang tidak diketahui menyalahinya terkadang tidak dinamakan Bid’ah.

Imam As Syafi’iy –rohimahulloh- berkata : “Bid’ah itu ada dua :

Pertama ; Bid’ah yang menyalahi al qur’an, sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- maka ini disebut Bid’ah Dholalah.

Kedua ; Bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut, maka Bid’ah ini terkadang disebut Bid’ah Hasanah berdasar pernyataan Umar “Sebaik-baik Bid’ah adalah ini (tarowih)”.

Pernyataan Imam As Syafi’iy ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang shohih. (Majmu’ Fatawa, vol. 20, hlm. 163),

Betapa beliau menamai “Bid’ah” bukan atas setiap perkara baru, melainkan pada perkara yang menyalahi Nash. Sedang perkara yang tidak menyalahi Nash tidak disebut “Bid’ah”.

Lebih jauh sikap beliau yang menghormati dan menghargai pendapat Imam As Syafi’iy yang membagi Bid’ah menjadi Bid’ah Dholalah dan Bid’ah Hasanah.

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN TAHLILAN, YASINAN, (DZIKIR BERJAMA’AH)

وَسُئِلَ : عَنْ رَجُل يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُنْكِرُ يُعْمِلُ السَّمَاعَ مَرَّاتٍ بِالتَّصْفِيقِ وَيُبْطِلُ الذِّكْرَ فِي وَقْتِ عَمَلِ السَّمَاعِ

”Syaikh Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang mengingkari ahli dzikir (berjama’ah) dengan berkata pada mereka : “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.”

Jama’ah tersebut memulai dan menutup dzikirnya dengan al qur’an, lalu mendo’akan kaum muslimin yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Mereka merangkai bacaan Tasbih, Tahmid, Tahlil, Takbir, Hauqolah (Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah) dan sholawat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam ?

فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ الله وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { إنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ } وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ { وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك } لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا أَحْيَانًا فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ وَالْأَمْكِنَةِ فَلَا يُجْعَلُ سُنَّةً رَاتِبَةً يُحَافَظُ عَلَيْهَا إلَّا مَا سَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُدَاوَمَةَ عَلَيْهِ فِي الْجَمَاعَاتِ ؟ مِنْ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِي الْجَمَاعَاتِ وَمِنْ الْجُمُعَاتِ وَالْأَعْيَادِ وَنَحْوِ ذَلِكَ . وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْر ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا

Syaikh Ibnu Taimiyah menjawab :”Berkumpul untuk berdzikir, mendengarkan al qur’an dan berdo’a adalah amal sholih dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama di setiap waktu.

Dalam shohih (Al Bukhori) bahwasannya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Alloh memiliki banyak malaikat yang selalu bepergian di muka bumi.

Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Alloh, maka mereka memanggil : “Silahkan sampaikan hajat kalian”, Ibnu Taimiyah menuturkan hadits tersebut (secara utuh), dan didalamnya terdapat redaksi; “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”.

Akan tetapi hendaknya hal ini dilakukan dalam sebagian waktu dan keadaan, dan tidak menjadikannya sebagai sunnah yang dipelihara yang mengiringi sholat, kecuali perkara yang telah di contohkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam untuk di lakukan secara istiqomah berupa sholat lima waktu, jum’at, dan perayaan-perayaan (‘id) juga yang semisal. Adapun memelihara rutinitas wirid-wirid yang ada padanya, berupa sholawat, bacaan al qur’an, dzikir, atau do’a setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Alloh yang sholih zaman dahulu dan sekarang. (Majmu’ Fataawaa, vol. 22, hal. 520)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN SAMPAINYA PAHALA KEBAIKAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

وَسُئِل– رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى – عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } فَهَلْ يَقْتَضِي ذَلِكَ إذَا مَاتَ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِ الْبِرِّ؟

Syaikh Ibnu Taimiyyah -rahimahullohu ta’aala- ditanya tentang Firman Alloh Swt, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS. An-Najm: 39) dan hadits “Ketika anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.

” adakah kedua nash tersebut menunjukkan “jika seseorang telah meninggal maka tak sesuatupun sampai padanya dari perbuatan baik?”

فَأَجَابَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَب الْعَالَمِينَ ، لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ

Maka Syaikh Ibnu Taimiyah menjawab : “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin, Tidak ada ayat dan juga hadits (yang menyatakan) bahwa mayyit tidak beroleh kemanfaatan dari do’a makhluk dan juga dari amal kebaikan untuknya, bahkan para Imam umat Islam sepakat berolehnya manfaat bagi mayyit dengan itu semua, dan masalah ini adalah termasuk perkara yang diketahui dari islam secara pasti, dan sungguh al qur’an, as sunnah dan ijma’ telah menunjukkan itu semua. Maka barangsiapa menyelisi-hinya maka dia termasuk ahli bid’ah.” (Al Fatawwa Al Kubro, vol. 3 hal. 27)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN TALQIN MAYIT

سُئِلَ: مُفْتِي الْأَنَامِ، بَقِيَّةُ السَّلَفِ الْكِرَامِ، تَقِيُّ الدِّينِ بَقِيَّةُ الْمُجْتَهِدِينَ، أَثَابَهُ اللَّهُ، وَأَحْسَنَ إلَيْهِ. عَنْ تَلْقِينِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ، هَلْ صَحَّ فِيهِ حَدِيثٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَوْ عَنْ صَحَابَتِهِ؟ وَهَلْ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَيْءٌ يَجُوزُ فِعْلُهُ؟ أَمْ لَا؟

Syaikh Ibnu Taimiyyah -rahimahullohu ta’aala- ditanya tentang Talqin Mayit dalam kuburnya setelah rampung proses pemakamannya.

“Adakah hadits shohih dari Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- atau dari sahabatnya tentang hal tersebut ? dan jika tidak ada satu dalilpun dalam hal tersebut adakah ia boleh dilakukan atau tidak ?

أَجَابَ: هَذَا التَّلْقِينُ الْمَذْكُورُ قَدْ نُقِلَ عَن طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ: أَنَّهُمْ أَمَرُوا بِهِ، كَأَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، وَغَيْرِهِ، وَرُوِيَ فِيهِ حَدِيثٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ مِمَّا لَا يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِ ؛ وَلَمْ يَكُنْ كَثِيرٌ مِنْ الصَّحَابَةِ يَفْعَلُ ذَلِكَ، فَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ: إنَّ هَذَا التَّلْقِينَ لَا بَأْسَ بِهِ، فَرَخَّصُوا فِيهِ، وَلَمْ يَأْمُرُوا بِهِ. وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ، وَغَيْرِهِمْ.

Maka beliau menjawab : Adapun talqin tersebut sungguh telah diriwayatkan dari sekelompok para sahabat seperti Abi Umamah Al Bahiliy dan yang lain, sesungguhnya mereka memerintahkan hal tersebut, dan di dalamnya disebutkan hadits Nabi saw, akan tetapi hadits tersebut tidak dapat dihukumi sohih, dan tidak banyak para sahabat yang melakukannya.

Oleh karenanya Imam Ahmad dan para ulama yang lain berkata :“Sesungguhnya talqin tersebut tidak apa-apa”, dan mereka memberi kelong-garan dalam masalah ini dan tidak memerintahkannya.

Sebagian golongan dari para Ulama kalangan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah mensunnahkannya, sedangkan sebagian golongan dari kalangan para ulama Malikiyyah dan yang lain me-makruh-kannya. (Fatawa Al Kubro. vol 3, hal. 24)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN ZIYARAH KUBUR

أَجَابَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أَمَّا زِيَارَةُ الْقُبُورِ فَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ قَدْ نَهَى عَنْهَا نَهْيًا عَامًّا، ثُمَّ أَذِنَ فِي ذَلِكَ. فَقَالَ: {كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا. فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ} وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَ أُمِّي، فَأَذِنَ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُ فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ}.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang ziyarah kubur beliau menjawab : Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin.

Adapun ziyarah kubur, sungguh terdapat dalam sohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, bahwasannya beliau pernah melarang ziyarah kubur dengan larangan yang bersifat umum, kemudian beliau mengizinkan ziyarah kubur.

Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku telah (pernah) melarang kalian berziyaroh kubur, maka (sekarang aku perintahkan) berziyarohlah kalian kekuburan, sesungguhnya ziyarah kubur dapat mengingatkan akhirat.” Dan Nabi saw bersabda :

“Aku memohon izin kepada tuhanku untuk diperkenankan menziyarahi makam ibuku dan Alloh mengizinkanku, dan aku memohon izin agar aku diperkenankan memohonkan ampun untuk ibuku dan Alloh tidak mengizinkanku, maka berziyarahlah kalian, sesungguhnya ziyarah kubur dapat mengingatkan kalian akan akhirat.” (Al Fataawa Al kubro, Vol 3 hal, 43)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN KEISTIMEWAAN KUBURAN ORANG-ORANG SHOLIH

وَكَذَلِكَ مَا يُذْكَرُ مِن الْكَرَامَاتِ وَخَوَارِقِ الْعَادَاتِ الَّتِي تُوْجَدُ عِنْدَ قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِثْلُ نُزُوْلِ الْأَنْوَارِ وَالْمَلآئِكَةِ عِنْدَهَا وَتَوَقِّي الشَّيَاطِيْنِ وَالْبَهَائِمِ لَهَا وَانْدِفَاعِ النَّارِ عَنْهَا وَعَمَّنْ جَاوَرَهَا وَشَفَاعَةِ بَعْضِهِمْ فِي جِيْرَانِهِ مِنَ الْمَوْتَى وَاسْتِحْبَابِ الْإِنْدِفَانِ عِنْدَ بَعْضِهِمْ وَحُصُوْلِ الْأُنْسِ وَالسَّكِيْنَةِ عِنْدَهَا وَنُزُوْلِ الْعَذَابِ بِمَنْ اِسْتَهَانَ بِهَا فَجِنْسُ هَذَا حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ ، وَمَا فِي قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ كَرَامَةِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ ، وَمَا لَهَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْحُرْمَةِ وَالْكَرَامَةِ فَوْقَ مَا يَتَوَهَّمُهَ أَكْثَرُ الْخَلْقِ ، لَكِنْ لَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ تَفْصِيْلِ ذَلِكَ

“Demikian pula kejadian yang disebutkan, tentang karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan yang terjadi di kuburan para nabi dan orang-orang sholih seperti turunnya cahaya dan malaikat di kuburan tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para nabi dan orang-orang sholih memberi syafaat kepada orang-orang mati yang menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka, memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah benar adanya dan tidak termasuk dalam topik bahasan kami tentang diharamkannya menjadikan kuburan sebagai masjid.

Apa yang terjadi pada kuburan para nabi dan orang-orang sholih dari kemuliaan dan rahmat Alloh dan apa yang diperoleh di sisi Alloh dari kehormatan dan kemulia-an itu berada di atas anggapan banyak orang. (Iqtidho’us Shirothil Mustaqim, 374)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN KAROMAH PARA WALI

فَبَرَكَاتُ أَوْلِيَاءِ اللهِ الصَّالِحِينَ بِاعْتِبَار
ِ نَفْعِهِمْ لِلْخَلْقِ بِدُعَائِهِمْ إلَى طَاعَةِ اللهِ وَبِدُعَائِهِمْ لِلْخَلْقِ وَبِمَا يُنْزِلُ اللهُ مِنْ الرَّحْمَةِ وَيَدْفَعُ مِنْ الْعَذَابِ بِسَبَبِهِمْ حَقٌّ مَوْجُودٌ فَمَنْ أَرَادَ بِالْبَرَكَةِ هَذَا وَكَانَ صَادِقًا فَقَوْلُهُ حَقٌّ. وَأَمَّا ” الْمَعْنَى الْبَاطِلُ ” فَمِثْلُ أَنْ يُرِيدَ الْإِشْرَاكَ بِالْخَلْقِ : مِثْلُ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ مَقْبُورٌ بِمَكَانِ فَيَظُنُّ أَنَّ اللهَ يَتَوَلَّاهُمْ لِأَجْلِهِ وَإِنْ لَمْ يَقُومُوا بِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُولِهِ فَهَذَا جَهْلٌ

Keberkahan para Wali Alloh yang sholih dari aspek manfaat yang diberikan mereka dengan ajakan mereka untuk taat kepada Alloh, mendoakan makhluk dan diturunkannnya rahmat oleh Alloh serta ditolaknya adzab berkat eksistensi mereka adalah fakta yang konkrit.

Barangsiapa yang menghendaki keberkahan dalam konteks demikian dan ia jujur maka ucapannya benar. Adapun pengertian yang salah itu semisal jika yang mengungkapkannya bermaksud menyekutukan Alloh dengan makhluk, seperti seseorang yang mengira bahwa mereka dikasihi oleh Alloh hanya berkat (orang sholih) yang dimakamkan ditempat tersebut, sedang mereka tidak menunaikan ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka hal ini adalah tindakan bodoh. (Majmu’ul Fatawa, 11/114)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN MADZHAB AL ASY’ARIY (AL-ASYA’IROH)

وَالْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوعِ الدِّينِ وَالْأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُولِ الدِّينِ .

“Para Ulama adalah pembela ilmu-ilmu agama ,sedang Al Asy’ariyyah adalah pembela dasar-dasar agama (Ushulud Diin) “ (Majmu’ Al Fataawa Ibnu Taimiyah, vol. 4, hlm. 16)

SYAIKH IBN TAIMIYAH DAN MAULID NABI.

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مُوْسِمًا قَدْ يَفْعَل
بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَدَّمْتُهُ لَك

Jadi, mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai tradisi yang tidak jarang dilakukan oleh sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya padamu. (Iqtidho’us Shirootil Mustaqiim, hal. 297).

Tulisan kami diatas semoga dapat menjadi titik awal pembuka kesadaran bagi Saudaraku yang tidak sefaham, bahwa amaliyah yang anda permasalahkan adalah berada dalam wilayah “Khilafiyah Ijtihadiyah” yang tidak ada untungnya bagi Islam dan Kaum Muslimin untuk mempertajam perbedaan dalam masalah-masalah tersebut.

Jika anda memang saudara yang baru tumbuh semangat ke-islam-annya, kami sarankan belajarlah dengan hati dan fikiran yang bebas dan merdeka serta bersikaplah kritis terhadap ustadz anda sebagaimana anda begitu kritis terhadap pendapat para Ulama kami.

Dan tentunya masih banyak fatwa-fatwa Syaikh Ibn Taimiyah yang sejatinya dapat menjadi titik awal menyadarkan saudaraku SALAFI/WAHABI untuk tidak mempertajam khilafiyah yang sejatinya hanya akan merugikan Ummat Islam. Problemnya adalah : Apakah mereka mau membuka hati dan fikiran mereka untuk menerima pandangan/pendapat Ulama’ yang mereka kagumi ?…

Wallohu A’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar